selamat datang di "muhammadaswin96foundation.blogspot.com"

Kamis, 06 November 2014

SEJARAH SINGKAT HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

Gagasan unuk mendirikan HMI sudah muncul sejak bulan November 1946 yang di prakarsai oleh Lafran Pane, mahasiswa tingkat satu Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta. Tetapi ide itu belum mendapat respon yang positif dari kalangan mahasiswa, walaupun telah berulang kali diadakan tukar pikiran. Banyak mahasiswa yang masih enggan bahkan tidak sedikit yang menentang berdirinya organisasi ini. Tapi banyak juga yang mendukung, hari kehari terus bertambah sehingga tahun 1947 akhirnya Lafran Pane menentukan sikap dan berkesimpulan harus mendirikan organisasi itu.



Himpunan Mahasiswa Islam didirikan pada tanggal 14 Rabbiul Awal 1366 H bertepatan dengan 5 Februari 1947 M. Adapun yang mencetuskan berdirinya HMI adalah ayahanda Prof. Drs. H. Lafran Pane, ia bersaudara dengan Sanusi Pane dan Armyn Pane. HMI berdiri pada saat Revolusi fisik antara Bangsa Indonesia dan Umat  Islam berjuang mempertahankan, menegakan dan mengisi kemerdekaan dan saling menempatkan dirinya sebagai anak kandung Indonesia dan umat Islam serta memberikan andil yang besar dan menuju cita-cita kemerdekaan, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Kini HMI yang berkembang sebagai organisasi terbesar dan tertua dan memiliki ratusan cabang serta 16 Badko(Badan Koordinasi), pendiri-pendiri HMI adalah:

  1. Prof. Drs. H Lafran Pane                    
  2. Ny. Maisaroh Hilal                             
  3. Siti Zainah                                          
  4. Dahlan Huasain                                              
  5. Mansyur                                             
  6. Hasan Basri                                        
  7. Anton Timur Jailani                            
  8. Yusdi Ghozali 
  9. Soewali
  10. Toha Mashudi 
  11. Tayob Razali              
  12. Zulkarnain
  13. Marwan
  14. Bidron Hadi
  15. M. Anwar
  16. Katmo



Kesemuanya adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta ketika itu, satu-satunya pemarkasa berdirinya HMI adalah ayahanda Prof.Drs. H. Lafran Pane. (Hasil-hasil Ketetapan kongres XI di Bogor pada tanggal 29 mei 1974).

Ketua umum pengurus besar HMI adalah:

  1. Lafran Pane                 1947 - 1948       
  2. MS Muntiharjo             1948 - 1950       
  3. Lukman L Hakim        1950 - 1952      
  4. A.D ranuwiharjo          1952 - 1954      
  5. Deltar Noor                  1954 - 1956      
  6. Amin Rajab                 1956 - 1958     
  7. Ismail Hasan                1958 - 1960     
  8. Nursal                          1960 - 1962     
  9. O. Komaruddin               1962 - 1964       
  10. Sulastomo                    1966 – 1969
  11. Nurcolis Madjid           1969 - 1971      
  12. Nurcolis Madjid           1971 - 1974           
  13. Akbar Tanjung             1974 - 1976      
  14. Ridwan Saidi               1976 – 1978     
  15. Chumaidah SH            1978 – 1980 
  16. Abd Hehumunua         1980 - 1982
  17. Ahmad Zakky S.          1982 – 1984
  18. Harry Azhar Aziz        1984 – 1986
  19. M. Saleh Khalid           1986 - 1988
  20. Herman Widyananda   1990 - 1992
  21. F. Mursyidin Baldan    1992 - 1994
  22. M. Yahya Zaini            1994 – 1996
  23. Taufik Hidayat              1996 – 1997
  24. Anas Urbaningrum      1997 – 1999
  25. Facruddin                    1999 - 2001
  26. Kholis Malik                2002 - 2003               
  27.  Hasanuddin                2003 – 2005
  28. Fajar Zulkarnain          2006 – 2008
  29. Arif Mustofa                2008 – 2010
  30. Noerfajriansyah             2010 – 2013
  31. Arif Rosyid                  2013-2015

FASE-FASE SEJARAH HMI

Fase Pengokohan (5 Februari 1947 - 30 November 1947)


    Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.

Fase Perjuangan Bersenjata (1947 - 1949)

 
   Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun '64-'65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.


Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)


    Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. 


Fase Tantangan (1964 - 1965)

    Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.

   Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.

Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 - 1968)

    HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari'ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain :

1) Mengamankan Pancasila.

2) Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.


Fase Pembangunan (1969 - 1970)

Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya :

1) partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang
    memungkinkan dilaksanakannya pembangunan,

2) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek
    pemikiran

3)  partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.



Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 - sekarang )

    Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu. Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 di mana secara relatif masalah- masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara di sisi lain, persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.


DINAMIKA PERJUANGAN HMI MASA DULU




      Sejarah telah mencatat bahwa sejak lahirnya HMI 5 Februari 1947, 67 tahun yang lalu,
HMI telah menorehkan masa lalu, dengan berbagai hasil sebagai akumulasi dari
perjuangannya. Terlalu banyak dan panjang untuk diungkapkan di sini, berupa keunggulan
dan keberhasilan HMI dalam berbagai aspek, di antaranya adalah :
 

1.HMI adalah organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini.
2.HMI adalah organisasi mahasiswa terbesar.
3.HMI mempunyai anggota dan alumni yang banyak.
4.HMI telah memberikan andil terbesar bagi pembentukan cendekiawan muslim di
Indonesia.
5.HMI telah memberikan kontribusi penting bagi pembinaan generasi muda di Indonesia.
6.HMI telah memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa dengan berbagai
pemikiran.
7.HMI telah memberikan sumbangsihnya yang besar dan nyata untuk mempertahankan
negara proklamasi 17 Agustus 1945.
8.HMI telah memberikan kontribusinya melawan dan berhadapan dengan PKI dan antek-
anteknya, yang berusaha untuk mengkomuniskan Indonesia, sehingga HMI
ditempatkan sebagai musuh utama PKI untuk dibubarkan sebelum meletusnya Gestapu/
PKI 1965.
9.HMI tetap mampu mempertahankan sifat independensinya sejak berdiri hingga
sekarang.
10.HMI memliki sejarah yang jelas. Terdapat 94 buah buku yang menulis khusus tentang
HMI.
11.HMI memiliki aparat yang lengkap yaitu PB, BADKO, Cabang, KORKOM,
Komisariat, Lembaga-Lembaga Kekaryaan, KOHATI yang merata di seluruh
Indonesia.

12.Usia 67 tahun HMI dapat diartikan sebagai petunjuk eksistensi kebenaran, ketahanan,
kekuatan, dan ketepatan konsep perjuangan yang telah dipilih para generasi pendiri
HMI.
13.Eksistensi kebenaran dan ketepatan wawasan HMI telah teruji sekaligus membenarkan
akan makna dan ketepatan dasar dan identitas HMI.
14.Perjalanan kehidupan HMI sejak berdiri hingga sekarang, pada hakikatnya berlangsung
secara dinamis, penuh perubahan dan kelangsungan, pergumulan dan perdamaian,
ketegangan dan ketenangan, konflik dan konsensus.
15.HMI dapat mengembangkan diri sebagai organisasi yang bersifat nasional dan modern.
16.HMI dapat menempa kader-kader yang berwawasan keIslaman, keIndonesiaan,
kemahasiswaan, independen, kepemudaan, keilmuan, pemikir, pejuang, dan pengabdi.
17.HMI dapat memberikan jawaban yang terbaik bagi persoalan bangsa dan bernegara,
dalam perang kemerdekaan ikut melawan dan mengusir penjajah Belanda serta
sumbangannya dalam ikut menumpas pemberontakan PKI di Madiun 1948
18.HMI tampil sebagai aset nasional dengan berbagai kekuatan dan kelemahan.
19.HMI dapat melakukan alih generasi dengan tertib, walaupun sering ditandai dengan berbagai kelemahan
20.HMI banyak dikaji dan diteliti oleh kalangan ilmuan untuk karya tulis seperti skripsi,tesis, dan disertasi.
21.HMI berhasil mencetak alumni-alumninya yang dapat menduduki berbagai jabatan
dalam negara dan masyarakat walaupun sering timbul masalah.
22.HMI dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran yang inovatif
23.HMI banyak terpublikasi oleh berbagai media, baik melalui saluran resmi maupun yang dipublikasikan oleh insan pers.

MENENGOK MASA LALU HMI

hmi5 Februari 1947, 66 tahun yang lalu menjadi tonggak bersejarah berdirinya HMI. Perjalanan 66 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah menorehkan tinta sejarah di pentas nasional. Banyak tokoh nasional dan lokal telah dilahirkan oleh organisasi yang lahirnya diprakarsai oleh Lafran Pane ini. HMI pun diharapkan tetap dapat memberikan kontribusinya dalam mengisi perjalanan bangsa.
Bulan Oktober 1946 berdiri Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa di Yogyakarta waktu itu yang anggotanya meliputi mahasiswa BPT Gadjah Mada, STT, STI. Di Solo tahun 1946 berdiri Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). Kedua organisasi itu berhaluan komunis. Tidak satupun diantara organisasi mahasiswa itu yang berorientasi Islam.
Lafran Pane, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) (kini UII- Universitas Islam Indonesia) yang baru duduk di tingkat I, mengadakan pembicaraan dengan teman-teman mengenai gagasan pembentukan organisasi mahasiswa Islam. Lafran Pane lantas mengundang para mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta baik yang ada di STI, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik (STT), guna menghadiri rapat, membicarakan maksud tersebut. Rapat dihadiri lebih kurang 30 orang mahasiswa, di antaranya terdapat anggota PMY dan GPII. Rapat-rapat yang sudah berulang kali dilaksanakan, belum membawa hasil, karena ditentang oleh PMY. Dengan mengadakan rapat tanpa undangan, secara mendadak, mempergunakan jam kuliah tafsir Bapak Husin Yahya almarhum ( mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ), diselenggarakanlah pertemuan untuk mendeklarasikan berdirinya HMI.
Ketika itu hari Rabu Tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan tanggal 5 Febuari 1947, di salah satu ruangan kuliah STI di jalan Setiodiningratan 30 (sekarang Jl. Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya ketika memimpin rapat antara lain mengatakan : Hari ini adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Sikap ini diambil, karena kebutuhan terhadap organisasi ini sudah sangat mendesak. Yang mau memerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan.
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.
Ketika mendirikan HMI 5 Febuari 1947, Lafran Pane genap berusia 25 Tahun.  Ide Lafran Pane mendirikan HMI dilakukan bersama 14 orang temannya yaitu Kartono Zarkasi, Dahlan Husain, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainab, M. Anwar, Hasan Basri, Zukkarnaen, Thayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi. Terpilih menjadi Ketua HMI  pertama Lafran Pane dan Wakil Ketua Asmin Nasution.
Sejarah mencatat HMI telah memberikan kontribusi tidak kecil sejak awal kelahirannya. Setidaknya itu terlihat dari tekad awal (1947) yang tertuang dalam tujuan organisasi yang secara konsisten dilaksanakan, yaitu mempertahankan Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan agresi Belanda dan kondisi umat Islam yang mengalami stagnasi.
Demikian pula ketika terjadi gerakan PKI pada 1965. HMI menjadi satu elemen yang paling diperhitungkan, bahkan dianggap sebagai musuh utama. Sampai-sampai DN Aidit memprovokasi anak buahnya dengan mengemukakan, “Jika tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung saja.” Berkat rahmat Tuhan, bukan HMI yang bubar melainkan PKI yang gulung tikar.
Sampai pada dua pertiga masa kekuasaan Orde Baru, HMI masih memperlihatkan kekuatan luar biasa. Bahkan ketika kekuasaan Orde Baru dengan gaya represif dan otoriter ingin memaksakan kehendak agar seluruh ormas termasuk OKP menggunakan asal tunggal Pancasila, HMI dalam kongres di Medan (1983) dengan tegas dan suara bulat menolak. Walaupun dalam kongres berikut (1986), HMI dengan sangat terpaksa mengakomodasi keinginan penguasa tersebut dengan pertimbangan yang bersifat sangat politis. Dalam artian ingin menyelamatkan wadah perjuangan HMI dari gerusan penguasa otoriter, lantaran bila tidak mau menerima Pancasila sebagai asas tunggal HMI akan dibubarkan. Meskipun itu harus dibayar mahal oleh HMI dengan menyempal organ HMI yang kemudian menamakan diri HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang dimotori Eggy Sudjana.

Rabu, 05 November 2014

HMI dan KEKUASAAN


Dalam masa setelah roda reformasi dapat menggulingkan komandan rezim Orde Baru, terlihat kondisi lebih buruk lagi pada HMI. Dalam masa itu seperti yang telah saya sebutkan di atas, HMI tidak lagi menjadi mainstream. Di tengah kebebasan dalam menyampaikan pendapat, HMI terlihat sedemikian serak. Jarang sekali melakukan penyikapan terhadap kondisi-kondisi sosial yang timpang termasuk dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi atau yang lain.
Ada dua hal yang kemungkinan besar menyebabkan hal tersebut. Pertama, telah tumpul pisau analisis yang dahulu menjadikannya sebagai organisasi kritis. Kedua, HMI tidak lagi mampu menghimpun kekuatan untuk menyuarakan sikapnya secara bersama-sama lantaran telah terjadi kritis militansi. Selain itu di tengah-tengah gerakan Islam baik keagamaan maupun politik dengan politik aliran, HMI justru kalah dengan yang lain.
Serpihan-serpihan pemikiran yang dahulu pernah dilontarkan oleh senior-senior dan sekaligus adalah ideolog HMI seperti Ahmad Wahib, DjohanEffendy, dan Nurcholish Madjid tidak mampu dilanjutkan oleh HMI secara institusional sehingga HMI seakan kehilangan akar genealogisnya. Pemikiran senior-senior itu sekarang justru banyak dielaborasi di tempat dan komunitas lain, seperti Komunitas Islam Utan Kayu dengan bendera Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dengan sangat intens melanjutkan gagasan-gagasan senior HMI tersebut.
Bila dalam komunitas itu sebagian besar adalah kader HMI, sekali lagi itu bukan HMI secara institusional. Dan itu, justru menunjukkan bahwa HMI memang sudah tidak lagi menyediakan ruang untuk menggali pemikiran-pemikiran ideologis. Padahal dewasa ini, ide-ide yang dulu kontraversial itu telah menjadi mainstream dan mulai banyak mendapat apresiasi positif dari khalayak masyarakat.
Karena itu, HMI sesegera mungkin menyadari kesalahan langkah yang diambilnya selama ini. Jika tidak dilakukan, dalam waktu tidak lama judul di atas akan menjadi sangat pas untuk menggambarkan kondisi HMI yang bagaikan anak ayam yang mati bukan lantaran kekurangan makanan, melainkan justru tertimbun padi yang menggunung di dalam lumbung yang seharusnya ia makan dengan porsi lebih banyak.

KONDISI HMI MASA KINI

Untuk melihat kondisi HMI dewasa ini, seperti ditulis Prof. DR. H. Agussalim
Sitompul, dalam bukunya
44 Indikator Kemunduran HMI, telah mengungkapkan secara
gamblang, kemunduran yang dialami HMI sejak tahun 1980
 Ir. H. Akbar Tandjung dalam kata Pengantar dalam buku ini mengatakan bahwa kritik-kritik yang
dikemukakan penulis buku ini memang pahit bagi HMI. Akan tetapi hendaknya itu semua
dipandang sebagai motivasi bagsi setiap pengurus, aktivis, dan kader HMI dimanapun juga,
untuk bangkit dan berkembang kembali sebagai organisasi kemahasiswaan bernapaskan Islam,
yang berwibawa kuat dan berpengaruh

. Ketua Umum PB HMI, Hasanuddin, dalam kata
sambutan PB HMI mengemukakan bahwa apa yang ditulis di buku ini menunjukkan betapa
banyaknya persoalan yang dihadapi HMI termasuk konflik internal
Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid, memberikan peringatan keras terhadap HMI ketika
menjelang Kongres ke-23 HMI di Balikpapan tahun 2002. Nurcholish dalam peringatan itu
mengatakan bahwa apabila HMI tidak bisa melakukan perubahan, lebih baik membubarkan diri.
    Peringatan itu sebagaishock therapy dengan harapan, HMI dapat dan mampu melakukan perubahan terhadap dirinya yang banyak kalangan dipandang bahwa dalam tubuh
HMI ditemukan berbagai kekurangan yang sifatnya negatif.
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan munculnya stigma negatif terhadap HMI
yang meliputi berbagai aspek seperti tentang
keislaman, keindonesiaan, kemahasiswaan,
keorganisasian, keHMIan, kedipsilinan, kurangnya respon terhadap berbagai masalah yang berkembang dalam kehidupan berbangsa bermasyarakat, dan bernegara, HMI tidak diminati lagi oleh mahasiswa, HMI hanya pandai berpendapat, tetapi tidak bisa melakukan perbuatan nyata (action), HMI sangat lemah dalam hal networking (jaringan), HMI sangat lemah dalam bidang informasi, publikasi, dokumentasi, banyak anggota HMI tidak memiliki sifat amanah, pamrih dalam berjuang, kurang dilandasi dengan semangat ikhlas. HMI tidak lulus dalam sejarah, yaitu dengan adanya organisasi yang menamakan dirinya “HMI-MPO”.
Maka dari kondisi HMI seperti itu, mutlak dilakukan tindakan atau langkah untuk mengubah stigma negatif HMI itu, dengan berbagai cara dan tindakan nyata. Kalau stigma negatif HMI tidak segera dilakukan perubahan, maka reputasi HMI pasti akan lebih merosot
dari kondisi yang ada sekarang, yang ditandai 44 indikator kemunduran HMI. Terutama oleh Pengurus sejak dari PB sampai Komisariat bahkan seluruh anggota HMI, suka tidak suka, mau
tidak mau, harus memiliki kesadaran kolektif, bahwa mengubah stigma negatif HMI harus dilakukan saat ini juga. Di sini tidak ada tawar-menawar lagi. Apabila HMI terlambat melakukan perubahan integral, maka dampaknya akan semakin buruk bagi kelangsungan
hidup HMI untuk masa-masa mendatang.

Dari dua citra yang saling bertolak belakang itu, HMI berada di persimpangan sejarah. Di satu arah dipandang sebagai suatu keberhasilan dan keunggulan HMI yang penuh romantisme sejarah. Di satu arah lain, HMI mengalami kemunduran, sebagai satu kegagalan menjalankan peranannya sebagai organisasi perjuangan. Dari dua kasus ini menunjukkan bahwa perjuangan HMI selama 63 tahun ini tidak semuanya ditandai dengan kesuksesan dan keberhasilan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa terjadi demikian ? Pertanyaan itulah secara
lugas diungkapkan oleh Agussalim Sitompul dalam
“44 Indikator Kemunduran HMI
Secara empiris Agussalim Sitompul membeberkan terdapatnya 44 indikator yang menyebabkan HMI mengalami kemunduran. Semestinya dalam usia HMI 63 tahun, dan telah
memasuki usia 50 tahun kedua ( 50 tahun pertama 1947-1997, dan usia 50 tahun kedua 1998-2048), perjalanan perjuangannya semakin mulus dan menanjak, sudah take off . Akan tetapi
yang terjadi justru sebaliknya – HMI mengalami kemunduran.
Kemunduran itu seperti ditulis oleh Didik J. Rachbini, sudah terjadi sejak tahun 1980 ,berarti sudah 26 tahun. Seperempat abad lebih HMI tidak dapat mengikuti perkembangan realitas sosial budaya yang berkembang sangat pesat. Maka HMI terlambat, sebabnya karena HMI tidak dapat mengadakan penyesuaian-penyesuaian secara struktural. Walaupun HMI ada, tetapi laksana bergerak di tempat dan sangat lamban memberi respon terhadap setiap
perkembangan yang muncul, dengan bermacam-macam perubahan. Berarti antara perkembangan masyarakat dan aktivitas HMI tidak seimbang. Apabila ini terjadi, dan memang sudah terjadi, HMI akan tersingkir dari perubahan yang terus muncul datang silih
berganti. Walaupun HMI ada tetapi berada di pinggir, tidak mampu lagi tampil dalam orbit yang semestinya, malah dengan keberadaan serta akses yang lemah jika dibandingkan terhadap supra sistemnya, yaitu masyarakat yang terus berkembang dan mengalami perubahan. Supra sistemnya yang dimaksud di sini juga adalah gerakan Islam kontemporer yang juga mengalami perubahan. Gerakan Islam kontemporer juga termasuk dalam sistem sosial politik yang ada, karena ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.
Pada saat itu momentum untuk melihat eksistensi HMI di dalam konteks supra sistem yang dimaksud dan sistem sosial politik yang ada. Ketika itu, momentum pembangunan sosial politik maupun ekonomi, tengah berada dalam tingkat intensitas  yang tinggi, gerakan Islam kontemporer ikut mengalaminya. Dalam dekade sekarang maupun dekade-dekade mendatang. Pergeseran-pergeseran peran dan kekuatan sosial politik, maupun ekonomi, serta gerakan Islam kontemporer tengah terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi dan besar. Maka bagi organisasi perjuangan seperti HMI, perlu dibina dan dipelihara kesadarannya bahwa segala sesuatu di luar organisasi tengah mengalami perubahan dengan berbagai konsekuensi dan pengaruh yang lebih besar. Hal itu perlu dilakukan untuk tetap memulihkan eksistensi maupun
akses HMI untuk suatu perubahan. Perlu disadari oleh HMI, bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, bisa merupakan kekuatan untuk mengembangkan organisasi,
akan tetapi bisa juga menjadi ancaman yang potensial, yang mematikan keberadaan HMI, karena HMI tidak mampu mengimbanginya berupa konsolidasi organisasi sehingga lama
kelamaan kerdil dan akhirnya bisa mati hilang dari peredaran.
Sebuah treatment, dilakukan dalam bentuk suatu kebijaksanaan dan proses rasionalisasi yang seharusnya menjadi konsekuensi dari adanya kesadaran akan urgennya sebuah perubahan internal HMI. Akan tetapi terbukti banyak elemen-elemen organisasi yang tidaksiap, baik sumber daya manusianya.

Berdasarkan sinyalemen itu, HMI sejak tahun 1980-2009, nampaknya banyak melakukan kesalahan di berbagai hal, yang menyebabkan HMI mengalami kemunduran. Koreksi dan kritikan terhadap HMI telah banyak dilakukan baik dari dalam maupun dari luar HMI. Akan tetapi dengan koreksi dan kritikan itu, tidak kunjung terjadi perubahan terhadap perbaikan HMI yang dilakukan PB HMI. Bahkan 2 periode terakhir, HMI semakin terpuruk karena terjadi dualisme kepemimpinan dalam tubuh PB HMI ( Kholis Malik – Muchlis Tapi- Tapi 2001-2003, dan Hasanuddin – Syamud Ngabalin 2003-2006) Kondisi seperti itu terjadi 29 tahun – waktu yang cukup lama. Puncak gelombang koreksi dan kritikan tentang terjadinya
kemunduran di tubuh HMI muncul menjelang Kongres ke-25 HMI di Makassar bulan Februari 2006, yaitu dengan terbitnya karya monumental Agussalim Sitompul
44 Indikator Kemunduran HMI” . Buku itu telah tersebar luas sejak pra Kongres ke-25 HMI hingga pada Kongres ke-25 HMI di Makassar. Bahkan di beberapa Cabang, seperti HMI Cabang Medan, Padangsidimpuan, Lampung, Cirebon, HMI Komisariat PAI Unissula Semarang buku itu telah dibedah. Sejak itu muncullah kesadaran individual dan kolektif di kalangan HMI bahwa memang HMI benar-benar mengalami kemunduran, dan diikuti pula kesadaran individual dan kolektif bahwa dalam tubuh HMI mutlak dilakukan perubahan agar dapat bangkit kembali.  Demikianlah gambaran posisi HMI yaitu di antara keberhasilan – dan kemunduran antara positif – negatif . Akan tetapi apabila dilihat dari waktunya – lebih panjang masa keberhasilannya, selama 33 tahun. Akan tetapi para pengamat lebih terfokus melihat kemunduran HMI saja selama 26 tahun, terlebih-lebih apabila yang melihat itu tidak
mengalami masa keberhasilan HMI pada masa-masa sebelumnya.

PERAN HMI DALAM MEMBANGUN BANGSA

Semakin bertambah usia maka semakin tua derajatnya, begitulah sintesa riwayat usia mahluk yang generalis dengan kehidupan manusia. Namun tidak bagi HMI, bertambah usia satu tahun malah menambah himpunan ini semakin produktif, kian kritis dan terus mengabdi untuk kepentingan umat, bangsa dan negara. Kini HMI menancapkan usianya yang ke 65 tahun di tahun 2012, dimana setiap tanggal 5 Februari seluruh keluarga besar HMI se-antero Nusantara akan diingatkan dengan ivent historis perjuangan sang pahlawan besar dan panglima bagi HMI yakni Kanda Lafran Pane dkk di Yogyakarta. Dengan gagasan-ggasan besar mereka (baca : Lafran Pane dkk) telah melahirkan institusi Hijau-Hitam ini sebagai salah satu organ negara yang siap menembus otoritas masif kekuasaan negara hingga ke-era pemerintahan saat ini.
Perjuangan kelahiran HMI bukan hanya milik kader HMI semata, akan tetapi rakyat Indonesia terpanggil untuk memiliki HMI sebagai lembaga kontrol kekuasaan, dan bersama rakyat memperjuangkan segala kepentingannya di atas kepentingan elite di negara ini. Kini 65 tahun sudah HMI bersama rakyat Indonesia dalam membangun kemajemukan dan integritas negara ini. Ditengah sentiment politik elite kekuasaan negara yang dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, telah banyak mengabaikan dan menepis ekspektasi rakyat baik dalam dalam ekonomi kerakyatan, kesejahteraan rakyat, maupun mutu pendidikan dan kesehatan rakyat, demokrasi, perlindungan hukum serta proteksi negara terhadap rakyat kecil.
HMI sebagai perekat civil society memiliki urgenitas terhadap peran ke-HMI-an yaitu kontrol sosial dan sistem kontrol pemerintah, yang dapat berfungsi sebagai peniup peluit (whistle blower) atas setiap anomali-anomali yang terjadi, serta sebagai kelompok penekan (pressure) atas setiap regulasi dan kebijakan elite yang tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. HMI di kala usia ini telah banyak mengisi warna dengan eksistensi yang berbeda terhadap bangsa ini, tidak menjadikan HMI letih dan berbalik arah meninggalkan tapak perjuangan yang dirintihnya, melainkan merapatkan shaf-saf mengisi ruang kosong dalam barisan perjuangan untuk menembus puncak kejayaan.
Kini HMI berada pada garda depan dalam mengawal agenda mega proyek rakyat yang dikelola oleh para petinggi di negara ini, dimana kebijakan-kebijakan sentra pembangunan yang difokuskan untuk kesejahteraan rakyat terus menjadi fungsi utama himpunan ini dalam peningkatan daya kontrol kekuasaan. Platform perjuangan ini seperti yang tersirat dalam tujuan HMI yakni “Terbinanya Insan akdemis, pencipta pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di Ridhoi Allah SWT”.
Berpijak dari fungsinya sebagai organisasi kontrol kekuasaan negara, maka proporsi ranah perjuangan HMI dalam dunia pemerintahan negara (Government state) di tuntut untuk menjadi yang terdepan (pelopor) baik dari segi ide, pelaksanaan hasil institusi terhadap kontrol negara, yang pada hakikatnya keintelektualan dan kekritisannya tertanggung jawabkan yakni melalui kerja kebangsaan dan keumatan dalam bentuk pengabdian secara nyata.
Fase Perjuangan dan Pengabdian HMI
Peran HMI dalam sejarah kehidupan bangsa dan negara Indonesia merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. HMI dengan sengaja telah ikut mewarnai sejarah panjang dinamikan kebangsaan Indonesia. Perjuangan dan pengabdian HMI terhadap eksistensi negara ini patut di banggakan pula, karena riwayat fase perjuangan HMI dalam mendorong pembangunan Indonesia tumbuh seiring dengan penegakan NKRI sebagai satu kekuatan integrasi bangsa dan negara.
Perjalannan HMI sangat terekam jelas asas perjuangannya dari masa ke masa, hal ini membuktikan kebenaran perjuangan dalam mengisi rung kemerdekaan dan pembangunan di negara tercinta ini. Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam interaksinya dengan umat dan bangsa. Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, malah membagi kesejarahan HMI dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan yakni,
Pertama, zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November 1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30 November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan, dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949).
Kedua, zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh membesar.
Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965). Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan, Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran (1970-1998) yang “gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik “Keharusan Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970 di Taman Ismail Marzuki.
Kelima, zaman reformasi (1998 - sekarang). Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II (2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai macam permasalahan termasuk konflik internal di HMI sendiri.
Kelima fase zaman perjuangan tersebut di atas, HMI tak berhenti bergerak dan terus berbuat untuk kemerdekaan dan mengisi pembangunan di negara ini. Ini bukti faktual perjuangan HMI dalam mengabdikan diri dalam membela negara, memperjuangkan hak-hak rakyat, serta menjaga kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Proyeksi Masa Depan dan Tantangan HMI
Yang dihadapi oleh umat Islam dan rakyat Indonesia saat ini akan begitu berbeda dengan apa yang dihadapi oleh umat Islam dan rakyat terdahulu. Dalam beberapa kurun waktu terakhir, sederet persoalan empirik kian ramai muncul mewarnai potert kebangsaan dan keumatan tanpa solusi yang ampuh. Keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, penindasan dan sederat persoalan lainnya datang silih berganti. Kini semakin memperkuat Tanggung jawab besar HMI untuk merespos secara dinamis akar problem yang dimaksud. Guna mengeluarkan negara ini dari titah belenggu persoalan tersebut. Tentu ini tidak mudah, butuh proyeksi dini dan kematangan himpunan untuk terus melakukan logika kontrol secara masif dan komprensif dalam kiprahnya ke depan.
Akbar Tanjung dan Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa kiprah HMI dalam perjuangan sangat aktif, melebihi organisasi mahasiswa yang lain. Dimana HMI sampai dengan usia ini, lebih menghadirkan dirinya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sehingga keduanya pun mengatakan tidak berlebihan kalau dikatakan sejarah HMI adalah bagian logis dari sejarah bangsa Indonesia (dalam Ali, 1997; Madjid, 1990). HMI adalah organisasi besar, organisasi tertua di Indonesia, kaya pengalaman, pencetak para raksasa intelektual, banyak anggota dan alumni dan sebagainya. Tentu motifasi Akbar Tanjung dan Cak Nur di atas, tidak melebihi sebuah pesan perjuangan dengan nilai sprit institusi yang kuat bagi kader intelektual HMI masa kini agar niscaya dengan semangat ikrarnya terus melakukan perubahan, siap mengawal tantangan masa depan dan giat melakukan aksi nyata bagi kemajuan bangsa dan negara ini.
Selain itu, proyeksi HMI masa depan juga dipandang berbeda oleh para pembesar HMI lainnya. Dengan melihat kondisi riil negara dan HMI saat ini yang semakin kompleksitas, maka sejarawan HMI, Prof. DR. H. Agussalim Sitompul (2008) juga ikut merumuskan tantangan internal maupun eksternal dalam proyeksi HMI kedepan, Pertama, HMI akan tetap eksis dan bangkit kembali dari kemunduran dan keterpurukan yang melanda selama lebih kurang 25 tahun terakhir. Hal ini dapat dicapai apabila HMI mampu melakukan perubahan, dengan agenda-agenda perubahan mendasar yang selama ini didukung dengan pondasi-pondasi penyangga HMI. Kedua, HMI status qou. Keberadaan HMI akan tetap seperti sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hal ini akan terjadi manakala HMI enggan melakukan perubahan, dan tantangan yang dihadapinya tak kunjung terselesaikan. Bahkan kondisi saat ini akan lebih parah lagi untuk masa-masa mendatang, apabila HMI tetap merasa dirinya sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia sebagai kesombongan historis yang kini menghinggapinya. Lebih daripada itu HMI tidak mau mendengar dan memperhatikan kritik yang konstruktif baik dari luar maupun dari intern HMI yang banyak dialamatkan pada HMI. Dimana kritikan dan saran perbaikan itu oleh PB HMI, Badan Koordinasi, Cabang-cabang, Koordinator Komisariat dan Komisariat-komisariat HMI di seluruh Indonesia dianggap angin lalu saja.
Ketiga, HMI akan hilang dari peredaran untuk tidak dikatakan bubar. Hal ini terlihat dimana hingga kini belum ada tanda-tanda perubahan ke arah perbaikan yang semestinya sesuai dengan tuntutan kontemporer.
Proyeksi sejarawan HMI yang dirumuskan diatas pula, tak ubahnya menjadi tugas besar dan pekerjaan rumah (home work) bagi kader dan himpunan ini kedepan. Karena masa depan HMI dan harapan seluruh masyarakat Indonesia akan terlahir dari eksistensi gerakan dan perjuangan massif himpunan ini. Tentunya sebuah harapan besar akan perubahan akan ternantikan disana. Oleh karena itu, dengan lahirnya sprit momentum Dies Natalis/ Milad HMI ke-65 tahun kali ini, yang jatuh pada Minggu, 5 Feburari 2012 diharapkan mampu segera berubah untuk kembali bangkit dan berperan untuk kepentingan umat dan bangsa di masa depan. Sebagai penutup, dengan sedikit meminjam ungkapan Sulastomo (2008) sebagai kader umat dan kader bangsa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Amien.

Selasa, 04 November 2014

HMI MENCETAK BANYAK POLITISI


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berulang tahun hari ini merupakan organisasi kemahasiswaan yang telah melahirkan banyak politisi. Dibandingkan dengan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang lain, bisa dipastikan bahwa HMI-lah yang paling banyak berkontribusi dalam menyediakan kader politisi.

Namun, ini bukan berarti bahwa jumlah kader HMI yang kemudian menjalani karier sebagai politisi paling banyak. Dalam lini-lini kehidupan selain politik, sangat mudah ditemukan kader-kader HMI, terutama dalam birokrasi kampus, birokrasi pemerintahan, pengurus ormas, aktivis LSM, wirausaha, bahkan militer. Karena jumlah kader politisi yang sangat banyak, alumni HMI berdiaspora ke seluruh partai politik yang ada di Indonesia.

Perbedaan pilihan dalam melakukan afiliasi politik bagi kalangan kader HMI sudah dianggap sebagai sesuatu yang sangat biasa. Dalam perbedaan itu, para alumni HMI bisa berkumpul dengan penuh kehangatan laiknya satu keluarga yang dinamis. Sama sekali tidak ada fanatisme dan sinisme karena perbedaan pilihan afiliasi politik. Karena itu, alumni HMI ada di semua partai politik, baik yang berdasar formal Islam, nasionalisme, maupun yang lainnya, kecuali yang secara jelas dan tegas menjadikan agama non-Islam sebagai dasar formal pendirian atau ideologi.

Dalam menjalani aktivitas politik, alumni HMI terbilang sangat menonjol dan tidak sedikit yang menjadi pemimpin puncak partai politik, terutama di era pasca-Reformasi. Tidak hanya di level nasional, tetapi juga di level provinsi dan kabupaten/kota. Alumni HMI yang sangat menonjol dalam politik biasanya karena memiliki dua keunggulan sekaligus yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Dua keunggulan yang ada pada kader HMI itulah yang menyebabkan HMI menjadi kawah candradimuka untuk tidak menyebutnya industri politisi yang tidak pernah kekurangan stok. Keunggulan komparatif dimiliki karena HMI merupakan organisasi kemahasiswaan tertua dan terbesar sehingga potensi untuk memiliki kader-kader dengan kapasitas yang lebih baik juga lebih  besar. Di antara sekian banyak kader yang terjaring oleh organisasi HMI, terdapat bibit-bibit kader yang sangat potensial.

Mereka itulah yang memiliki kapasitas akademik di bidang-bidang tertentu yang  mereka geluti. Secara kuantitatif, ini terbukti dengan prestasi akademik di kampus dengan menjadi mahasiswa-mahasiswa terbaik. Mereka yang memiliki keunggulan ini biasanya sangat mudah untuk melanjutkan karier
sebagai pengajar di perguruan tinggi, baik tempat mereka belajar atau perguruan tinggi yang lain. Sedangkan keunggulan kompetitif dimiliki oleh kaderkader HMI karena mereka berada pada budaya organisasi yang egaliter.

Dalam budaya egaliter tersebut, para kader HMI bisa bersaing secara bebas untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin organisasi. Tradisi ini menjadikan kader-kader HMI mengalami tempaan keras, terutama secara mental, karena harus mengalami tekanan dan tantangan berat dalam menjalani proses kompetisi.

Kebiasaan dalam suasana persaingan ketat inilah yang membuat kader-kader HMI memiliki kesiapan untuk menjalani dunia politik yang memang bisa dikatakan tidak pernah sepi dari kompetisi untuk memperebutkan posisi-posisi politik yang dianggap strategis. Tentu saja tujuan idealnya adalah agar bisa menjadikan posisi-posisi tersebut sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Sinergi Positif

Dalam konteks struktur kenegaraan demokratis di Indonesia saat ini, banyak alumni HMI yang berada pada tiga poros kekuasaan (trias politica): legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Karena jumlah mereka yang berada dalam partai politik terbilang sangat banyak, dengan modal dua keunggulan yang mendukung, peluang mereka terpilih dalam pemilu juga menjadi besar.

Secara empiris, itu tampak dalam banyaknya alumni HMI yang terpilih menjadi anggota legislatif, baik di level nasional maupun daerah. Tidak ada fraksi yang sama sekali nihil dari alumni HMI. Demikian juga dalam struktur eksekutif dan yudikatif. Sejak era Orde Baru, struktur kabinet juga cukup dominan dengan kader HMI, baik karena pertimbangan politik, profesionalisme, atau bahkan kedua-duanya.

Keberadaan mereka yang lintas partai dan lintas poros tersebut memungkinkan mereka membangun jaringan. Karena itulah pernah muncul istilah “HMI connection”. Para alumni HMI tetap mampu menjalin komunikasi yang sangat intensif. Walaupun dalam konteks-konteks tertentu mereka terlibat konflik yang sangat sengit, tetapi dalam konteks-konteks yang lain mereka mampu bersinergi dengan sangat baik.

Komunikasi antaralumni HMI menjadi sarana yang sangat efektif untuk mengusung agenda-agenda
politik tertentu. Tentu saja komunikasi ini menjadi sarana yang terbilang netral. Dengan kata lain, komunikasi ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan sinergi untuk menghasilkan sesuatu yang positif, tetapi tak jarang juga komunikasi ini menghasilkan sesuatu yang negatif dan berakibat destruktif. Tidak sedikit alumni HMI yang berurusan dengan aparat penegak hukum karena diduga dan ada juga yang telah divonis hukuman akibat melakukan tindakan penyelewengan kekuasaan.

Namun, menilai bahwa mayoritas alumni HMI adalah amoral juga tidak fair karena terlalu banyak alumni HMI yang menjalani aktivitas politik dan bertahan dengan idealisme sebagaimana tujuan HMI yakni: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT”. Di samping itu, lebih banyak lagi alumni HMI yang menjalani karier di luar dunia politik.

Akhirnya HMI sebagai kawah candradimuka yang selalu melahirkan kader politisi sangatlah penting. Politiklah yang bisa memengaruhi secara dominan perubahan negara dan masyarakat. Jika politik diisi oleh orang-orang yang baik, negara dan masyarakat akan baik. Namun, jika didominasi oleh mereka yang jahat, negara dan masyarakat juga akan rusak.

Karena itu, HMI memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan kaderisasi yang bisa melahirkan politisi yang baik agar diaspora politik alumni HMI menghasilkan sinergi dalam membangun dan mengembangkan idealitas sebagai kader umat dan bangsa guna mewujudkan baldatun thayyibatun (negeri yang baik). Sinergi dengan orientasi itulah yang akan membuat HMI senantiasa mendatangkan
keberkahan sehingga tetap menjadi harapan masyarakat Indonesia. Wallahu a’lam bi alshawab.

ARTI LAMBANG HMI

LAMBANG HMI

1. Bentuk huruf alif :

    Sebagai huruf hidup, lambang optimis kehidupan HMI.
    Huruf alif merupakan angka 1 (satu) lambang tauhid, dasar/
    semangat HMI


2. Bentuk perisai :

    Lambang kepeloporan HMI.

3. Bentuk jantung :

    Jantung adalah pusat kehidupan manusia, lambang fungsi perkaderan HMI.


4. Bentuk pena :

    Melambangkan bahwa HMI organisasi mahasiswa yang senantiasa
    haus akan ilmu pengetahuan.


5. Gambar bulan bintang :

    Lambang kejayaan ummat Islam seluruh dunia.


6. Warna hijau:

    Lambang keimanan dan kemakmuran.


7. Lambang hitam:

    Lambang ilmu pengetahuan.

    Keseimbangan warna hijau dan hitam :
    Lambang keseimbangan, esensi kepribadian HMI.

8.warna putih
    Lambang kemurnian dan kesucian perjuangan HMI.


9. Puncak tiga :

    Lambang Iman, Islam dan Ikhsan.
    Lambang Iman, Ilmu dan Amal.


10. Tulisan HMI :

    Kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam

 

ANDA KADER HMI???? WAJIB BACA INI

Siapapun yang membaca tulisan singkat ini, semoga bermanfaat dan selalu mendapat keberkahan. Tulisan ini tidak berpretensi apa-apa yang akan menguntungkan diri saya pribadi, namun saya ingin berbagi saja tidak lebih dari itu. Apa yang saya sampaikan dalam tulisan ini hanya sedikit dari sekian banyak pikiran dan perasaan saya pribadi yang tentunya ini semua bagian dari kondisi kebatinan penulis semata. Sehingga demikian, saya tidak ingin mengajak lebih-lebih memaksakan kehendak yang ada dalam tulisan ini. Saya berharap pembaca sekalian mampu menjaga jarak dengan sisi subjektifitas saya secara pribadi, karena saya sangat percaya setiap orang memiliki sisi historisitas yang membuat dia ataupun anda sekalian memproduksi berbagai ide dan pikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang bisa dibca oleh khalayak umum. Ambilah jarak itu, dan sesekali coba masuk ke dalam alam pikiran penulis agar apa yang saya sampaikan dapat anda pahami sebagai buah dari historisitas penulis.
Sebagai pengurus himpunan, saya merasa bertanggungjawab menyampaikan ini kepada semua kader-kader himpunan di mana saja berada. Mengingat gelaran konferensi cabang yang tinggal sebentar, maka untuk persiapan-persiapan baik dalam rangka mempersiapkan diri untuk melepaskan jabatan sebagai pengurus karena sudah berakhir masa kepengurusan atau persiapan untuk maju sebagai kandidat ketua umum bagi yang berminat untuk maju saya kira sangat penting untuk dipersiapkan. Karena dalam hukum manajmennya, persiapan yang buruk akan menghasilkan tujuan yang buruk pula. Oleh karena itu, mengorganisir diri terlebih dahulu untuk dua konteks di atas bagi pengurus-pengurus ialah sangat penting. Mau kemana setelah menjadi pengurus? Apa yang akan dilakukan setelah menjadi pengurus? Lalu apa yang akan dilaksanakan jika berminat mencalonkan diri? Sekelumit pertanyaan diatas sangat patut buat teman-teman tanyakan dalam diri (dialog imajiner) sebelum benar-benar siap meninggalkan atau melanjutkan karir di dunia himpunan.
HMI sebagaimana yang sering penulis sampaikan mempunyai banyak kelebihan jika dibandingkan dengan organisasi yang tercatat pernah hadir mengisi ruang kemahasiswaan di nusantara. Sebut saja salah satu kelebihannya ialah hubungan emosional antara kader dengan alumni dan kader dengan kader yang terbilang cukup erat. Bahkan sampai tidak mengenal usia dan batasan waktu ber-HMI. Atau dengan kata lain, HMI mempunyai konektifitas antar sesama yang cukup tinggi networking. Selain networking  yang terbangun lewat keeratan hubungan emosionalnya, proses pembelajaran di HMI menjadi salah satu pembeda berikutnya.
Di HMI tidak ada ajaran-ajaran yang buruk, semuanya baik jika ditilik dari tujuan dan visi misi berdirinya HMI. Proses perkaderannya yang berbeda membuat gerakan-gerakan HMI dari aspek intelektualitas tidak terbantahkan lagi. Hal ini terbukti dari banyak tokoh yang lahir dari rahim HMI. Terlepas dari apa yang penulis paparkan di atas berupa romantika sejarah atau bukan.
Pertama saya ingin mengajak rekan-rekan semua untuk menyelami aktifitas himpunan yang  selama ini kita laksanakan. Ada yang salah selama ini dan itu berbuah cukup fatal bagi eksistensi himpunan. Kesalahannya ialah setiap periodesasi kepengurusan tidak memperlihatkan aspek yang akan menjadi warna dari visi kepengurusan yang akan dijalaninya. Hal ini terlihat dari program kerja-program kerja yang disusun oleh setiap bidang yang tidak memperlihatkan adanya visi yang kuat yang ingin dibangun untuk satu periode kedepan. Program kerjanya selalu bersifat tentatif dan tidak paradigmatik atau tidak memiliki perspektif yang jelas. Sebut saja program kerja salah satu bidang yang memprogramkan untuk mencetak buku saku konstitusi. Bayangkan, mencetak buku saku konstitusi  sebagai program kerja. Tentu tidak salah untuk memprogramkan hal ini. Namun apakah memenuhi sisi pardigmatik di atas?. Jika dilihat dari aspek tanggungjawab sebagai pengurus, memberikan pemahaman konstitusional terhadap kader-kader HMI merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa harus masuk dan digodok terlebih dahulu sebagai program kerja, karena sebagai pengurus memberikan pemahaman mengenai konstitusi merupakan tuntutan konstitusional yang harus dilaksanakan dan salah satu medianya ialah mencetak buku saku konstitusi.
Program kerja yang bersifat tentatif seperti contoh di atas hampir selalu dipraktikkan oleh pengurus pada setiap periodesasi kepengurusannya.

Merancang Program Kerja yang Pradigmatik
Program kerja yang bersifat paradigmatik sebagaimana penjelasan di atas ialah program-program kerja yang memiliki efek jangka panjang  dan mampu merubah arah berpikir baik kader yang terlibat langsung sebagai objek sekaligus subjek dari rancangan program kerja yang telah disusun maupun masyarakat kampus secara keseluruhan. Menemukan program kerja yang bersifat paradigmatik seperti ini tentu tidak mudah seperti halnya menemukan uang yang hilang. Yang membuat tidak mudah ialah karena rancang bangun program kerja yang akan disusun ialah mengikuti alur perubahan dan dinamika sosial yang hampir setiap hari terjadi secara progresif. Inilah yang harus mampu dilihat oleh pengurus yaitu perkembangan sosialitas di cabang masing-masing. Sebagai salah satu contoh di cabang-cabang luar seperti Bogor, mereka membuat program kerja pembinaan terhadap masyarakat atau KKNnya HMI. Mereka bergaul dan menginap di masyarakat layaknya sedang KKN. Tentu program kerja seprti inilah yang masuk kategori pradigmatik karena akan mampu membawa perubahan masyarakat sekitar dan tentunya kader-kader HMI sendiri. Dan masih banyak  lagi program-program kerja lainnya.
Selanjutnya yang ingin saya sampaikan ialah hubungan yang dibangun terhadap sesama kader. Tentu berjalan dan baiknya sebuah program kerja akan terlaksana jika komunikasi dengan pengurus dan kader baik. Dalam tulisan ini penulis ingin menyoroti hubungnan komunikasi antara HMI-Wan dengan HMI-Wati. Bagaimana bisa disebut HMI jika di sekretariat pengurus “tinggal” satu rumah tanya salah seorang teman. Ada benarnya juga apa yang disampaikan oleh teman tadi. Bahwa islam telah mengajarkan etika dalam bergaul baik dengan sesama jenis atau lawan jenis. Tentu tidak dapat dibenarkan jika ada pengurus HMI-Wan dan HMI-Wati yang bukan muhrim“tinggal” satu atap layaknya suami isteri. Ini yang perlu dibenahi. Sehingga ke depan kader-kader HMI selain tampil menawan dalam hal intelektualitas juga menawan dalam sisi etika.
Selanjutnya ialah hubungan pengurus dengan alumni. Pengalaman berhubungan dengan alumni selama dua periode kepengurusan di cabang (2010/2011-2011/2012) selama ini cenderung berjalan sangat lamban dan tidak efektif. Hal itu dikarenakan untuk konteks alumni Mataram (meski tidak semuanya) cenderung memainkan pola komunikasi satu pintu.  Maksud saya, komunikasi yang berjalan cenderung melihat dia siapa, angkatan berapa dari faksi mana. Warna dan corak seperti inilah yang mewarnai pola komunikasi yang berjalan selama ini. Akibatnya ialah terjadi kelambanan vis a vis dengan dekatnya berbagai aktifitas kepengurusan.
Corak lainnya ialah sikap represif sebagian alumni terhadap pengurus sehingga berakibat pada gangguan psikologi pengurus. Baik itu represif dalam hal tindakan maupun perkataan. Akibatnya secara tidak langsung terjadi kekerasan struktural dalam pola komunikasi. Padahal pola-pola komunikasi semacam ini telah lama dibatalkan oleh Jurgen Habermas seiring berkembangnya tema Post Modernisme selama ini. Lebih jauh Habermas mengatakan bahwa syarat berjalannya komunikasi yang baik ialah terjalinnya interaksi secara dialogis antar dua atau lebih subjek yang berkomunikasi. Hal inilah yang seringkali tidak terlihat selama ini (maklum alumni kita jarang baca, jadi wacananya ketinggalan jaman, capekkkk dechhhh). Merasa diri senior, jarang sekali mau mengalah terhadap juniornya. Alih-alih sebagai bentuk pembelajaran namun justeru dihujat dibelakang layar.
Satu poin penting, alumni kita tidak kontekstual dalam melihat sesuatu. Semuanya selalu dikembalikan ke masa lalu saat mereka ber HMI dulu. Apakah kemudian relevan kondisi yang dulu dengan sekarang? Tentu jawabannya tidak akan relevan. Bagaimana mungkin menyelesaikan problem HMI pada dua dekade silam dengan metode yang sama untuk masa yang sekarang. Inilah letak tidak dewasanya sebagian alumni kita yang selalu rujukannya ialah ke masa lalu dan pengalaman mereka dulu. Sekali lagi tidak akan pernah menemukan relevansinya. Namun justeru inilah yang diajarkan oleh senior-senior kita di himpunan. Sangat disayangkan.
Selanjutnya ialah sikap represif dan model pembelajaran seperti di atas dalam dunia pendidikan sudah ketinggalan masanya. Karena pengekangan dan pembatasan kreatifritas dalam bentuk apapun tidak dibenarkan. Oleh karena itu, tidak ada kata terlambat untuk mau dewasa menjadi senior di himpunan. Hindari sikap represif berupa tekanan dan kekangan yang berakibat pada matinya kreatifitas kader-kader HMI. Begitu juga dengan kader HMI untuk terus belajar dewasa dan mempunyai sikap yang mandiri dalam menentukan arah dan kebijakan organisasi. Akhirnya semoga kita sama-sama belajar menjadi kader dan alumni HMI yang baik. Wallahua’lam bissawab