
Bulan Oktober 1946 berdiri Perserikatan
Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa di
Yogyakarta waktu itu yang anggotanya meliputi mahasiswa BPT Gadjah
Mada, STT, STI. Di Solo tahun 1946 berdiri Serikat Mahasiswa Indonesia
(SMI). Kedua organisasi itu berhaluan komunis. Tidak satupun diantara
organisasi mahasiswa itu yang berorientasi Islam.
Lafran Pane, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) (kini UII- Universitas Islam Indonesia)
yang baru duduk di tingkat I, mengadakan pembicaraan dengan teman-teman
mengenai gagasan pembentukan organisasi mahasiswa Islam. Lafran Pane
lantas mengundang para mahasiswa Islam yang ada di Yogyakarta baik yang
ada di STI, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik
(STT), guna menghadiri rapat, membicarakan maksud tersebut. Rapat
dihadiri lebih kurang 30 orang mahasiswa, di antaranya terdapat anggota
PMY dan GPII. Rapat-rapat yang sudah berulang kali dilaksanakan, belum
membawa hasil, karena ditentang oleh PMY. Dengan mengadakan rapat tanpa
undangan, secara mendadak, mempergunakan jam kuliah tafsir Bapak Husin
Yahya almarhum ( mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta ), diselenggarakanlah pertemuan untuk mendeklarasikan
berdirinya HMI.
Ketika itu hari Rabu Tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan tanggal 5 Febuari 1947,
di salah satu ruangan kuliah STI di jalan Setiodiningratan 30 (sekarang
Jl. Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam
prakatanya ketika memimpin rapat antara lain mengatakan : Hari ini
adalah rapat pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena persiapan
yang diperlukan sudah beres. Sikap ini diambil, karena kebutuhan
terhadap organisasi ini sudah sangat mendesak. Yang mau memerima HMI
sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah
terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan
berjalan.
Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat
dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada
waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran
agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan
kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi
untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai
kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu
menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk
pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan
tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya
melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik
Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan
kemakmuran rakyat.
Ketika mendirikan HMI 5 Febuari 1947,
Lafran Pane genap berusia 25 Tahun. Ide Lafran Pane mendirikan HMI
dilakukan bersama 14 orang temannya yaitu Kartono Zarkasi, Dahlan
Husain, Maisaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghozali, Mansyur, Siti Zainab, M.
Anwar, Hasan Basri, Zukkarnaen, Thayeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi.
Terpilih menjadi Ketua HMI pertama Lafran Pane dan Wakil Ketua Asmin
Nasution.
Sejarah mencatat HMI telah memberikan
kontribusi tidak kecil sejak awal kelahirannya. Setidaknya itu terlihat
dari tekad awal (1947) yang tertuang dalam tujuan organisasi yang secara
konsisten dilaksanakan, yaitu mempertahankan Republik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan
agresi Belanda dan kondisi umat Islam yang mengalami stagnasi.
Demikian pula ketika terjadi gerakan PKI
pada 1965. HMI menjadi satu elemen yang paling diperhitungkan, bahkan
dianggap sebagai musuh utama. Sampai-sampai DN Aidit memprovokasi anak
buahnya dengan mengemukakan, “Jika tidak bisa membubarkan HMI, lebih
baik pakai sarung saja.” Berkat rahmat Tuhan, bukan HMI yang bubar
melainkan PKI yang gulung tikar.
Sampai pada dua pertiga masa kekuasaan
Orde Baru, HMI masih memperlihatkan kekuatan luar biasa. Bahkan ketika
kekuasaan Orde Baru dengan gaya represif dan otoriter ingin memaksakan
kehendak agar seluruh ormas termasuk OKP menggunakan asal tunggal
Pancasila, HMI dalam kongres di Medan (1983) dengan tegas dan suara
bulat menolak. Walaupun dalam kongres berikut (1986), HMI dengan sangat
terpaksa mengakomodasi keinginan penguasa tersebut dengan pertimbangan
yang bersifat sangat politis. Dalam artian ingin menyelamatkan wadah
perjuangan HMI dari gerusan penguasa otoriter, lantaran bila tidak mau
menerima Pancasila sebagai asas tunggal HMI akan dibubarkan. Meskipun
itu harus dibayar mahal oleh HMI dengan menyempal organ HMI yang
kemudian menamakan diri HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang
dimotori Eggy Sudjana.
What is the difference between the two types of bets? - Sporting 100
BalasHapusFor a bettor looking to place his or her first bet, the difference in the 토토 사이트 추천 final is that you must win the bet in order for your bet to win.